Bismillah Istikharahku (bagian I)
![](https://ma-almabrurambon.sch.id/asset/foto_berita/bismillah_istikharahku.jpg)
Tafsiran alam sore itu membuat Husni begitu gelisah di batin. Sementara dedaunan begitu saja jatuh ke tanah. Seakan daun lekas lepas dari ranting. Zikir Muraja’ah yang menjadi wirid hariannya tak bisa menjadikan hatinya teduh. “Audzu billahi minasyaithan nirrazdiim”, keluh lelaki 25 tahun itu. “Sesungguhnya Allah tidak akan menguji iman seorang hamba melebihi kapasitasnya”. Kembali lagi lelaki itu teduh dalam tadabur ayat.
Sudah seminggu ini aktivitas pria, yang berprofesi sebagai mahasiswa pasca sarjana Universitas Sumber Kasih tidak melakukan kerja-kerja kampusnya. Hari-harinya, dilakoninya hanya dengan melakukan iktikaf di masjid dekat indekosnya.
“Assalamu ‘alaikum.”
“Wassalamu ‘alaikum.”
“ Gimana dengan tawaran Pak Ardi kemarin, Husni?”
“ Aku masih pikir-pikir, nih.”
“Kok, malah pikir-pikir. Kan bukan kamu yang mau. Beliau sendiri yang ajukan tawaran. Kalau saya jadi kamu, langsung saya iyakan tanpa jeda berminggu-minggu seperti ini. Beliau itu orang terpandang di daerah ini, salah satu tangan kanan pak menteri pula. Eh, malah main gantung harapan kayak gini. Ini rejeki sudah di depan mata, jangan biarkan di patuk ayam.”
“Bukan begitu, San. Aku malah masih kurang yakin. Aku lebih yakin ngejar karir daripada ngejar kayak gituan.”
“Makanya dikasi yakin hatimu itu. Kasilah vitamin paripurna. Apa yang kurang dari dirimu. Sebagai lulusan terbaik Tahfiz Qur’an Pesantren, kok malah takut nambah genapkan ibadahnya. Ingat, menikah itu bagian dari penyempurnaan agamamu.”
“Okelah…kuturuti nasehatmu. Untuk hal ini, harus benar-benar aku siapkan diri. Bukan masalah uang atau maharnya yang mahal. Tapi, masalah sebuah komitmen masa depan. Bagi saya, menikah bukan soal membuat megah resepsi seribu undangan di hotel berbintang. Atau sekedar berbulan madu di galaksi bima sakti. Tapi, seberapa besar daya tahan dan saling membangun kepercayaan di atas perbedaan hingga madal hayyah. Itu yang sedang kupeta konsepkan.
“Nah, begitu dong. Kelihatan Muhamad Husni sesungguhnya”.
***
Beberapa bulan sebelumnya, ketika hujan mengguyur ibukota. Para jamaah yang sudah sedari tadi datang untuk melaksanakan sholat Subuh berjamaah. Waktu sudah lewat lima belas menit waktu subuh, tak kunjung jua bayangan sang imam muncul. Was-was hati para jamaah, jangan sampai gegara keterlambatan sang imam, baraqah subuh menjadi sia-sia. Salah seorang dari mereka pun bertanya. Nampak dia tokoh juga di situ. Sarungnya yang khas batik Sulawesi dan kopiah hitamnya sangat membuat performanya disegani. Apalagi wajahnya yang sangat bersahabat, ditambah hitam halus kumisnya.
“Bapak-bapak, saudara-saudara, siapa yang bisa menjadi imam sementara?”
Semua mata tertuju padaku. Entah wajah kebaikan apa yang kupunya. Sehingga ada dorongan iman para jamaah untuk mempersilahkanku menjadi imam. Dengan beristigfar, aku maju ke depan. Tiba-tiba sesosok bayangan berlari-lari kecil, seakan takut ketinggalan kereta.
“Wah, itukan Ustad Bahrun!” Sang Imam. Aku pun melangkah mundur ke belakang guna mempersilakan tempat pada yang empunya. Malah, aku didorong oleh beliau. “Nak, kamu saja yang imami kita subuh ini. Bapak lagi kurang enak badan.”
“…Yaa ayyutuhaan nafsulmuthmainnah. Irji’ii ilaa rabbiki radhiyatammardhiyyah. Faad khulii fii ‘ibaadii. Wa khulii jannatii…"
(bersambung...)